Saat kerusuhan Mei 1998, di mana sasaran utamanya adalah orang-orang Tionghoa, masyarakat secara umum tidak melihatnya sebagai suatu tindakan biadab. Betul bahwa banyak yang mengutuk, tapi respon yang muncul justru banyak datang dari luar negeri. Negara-negara sahabat, lembaga-lembaga PBB maupun lembaga HAM internasional, mengutuk keras kerusuhan rasial Mei 1998.
Pertanyaan langsung berkelebat dalam kepala, kenapa kebencian rasial mendapat tempat, dan diterima sebagai suatu hal yang permisif di Indonesia? Sepertinya rasisme anti-Tionghoa semacam ini dianggap sebagai suatu kewajaran, tentu dengan berbagai argumen, namun pokoknya adalah satu: rasisme anti-Tionghoa mendapat tempat yang layak di dalam kepala masyarakat Indonesia secara umum!
Gejala umum ini memang banyak terjadi di belahan dunia lainnya. Pemain klub sepakbola Barcelona asal Kamerun, Samuel Eto’o, hanyalah salah satu korban tindakan rasisme dunia olahraga, sehingga jauh-jauh hari Persatuan Sepakbola Eropa (UEFA) perlu mencanangkan program kampanye “Let’s Kick Racism Out of Football!”. Uni Eropa bahkan menerapkan sistem rangking buat mengukur tingkat rasisme di negara-negara Eropa.
Kondisi ini yang sekarang menjadi dasar bagi dipersiapkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis (RUU PDRE). Untuk itu pertanyaan awal tadi perlu ditelusuri sedikit lebih jauh, dengan melihat penataan sosial berdasarkan asal-usul kebangsaan di masa kolonial, sampai sekarang ini.
Tata-Sosial Rasis Bentukan Kolonialisme Belanda
Kebijakan rasis di Indonesia bisa ditelusuri dari masa kolonialisme Belanda jama VOC. Perlawanan kaum Tionghoa di Batavia yang mengakibatkan pembantaian lebih dari 10.000 orang Tionghoa oleh VOC pada Oktober 1740, di mana perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari (Ricklefs 2001). Peristiwa ini yang menjadi landasan dari proyek pemisahan tata-sosial berdasarkan asal-usul (sebut saja Ras) secara ketat. Peristiwa 1740 berlanjut sampai terjadinya perlawanan orang Tionghoa di seluruh Jawa, bahkan mendapat dukungan dari Kerjaaan Mataram di bawah Pakubuwana II. Perlawanan ini berhasil dipatahkan karena Cakraningrat IV membantu pemerintah kolonial (Ricklefs 2001).
Untuk melakukan kontrol terhadap komunitas Tionghoa, VOC menerapkan kebijakan berupa pemisahan etnis Tionghoa dengan “pribumi” yaitu Sistem Opsir (Kapitan), Sistem Zona (Wijkenstelsel) dan Sistim Surat Ijin Jalan (Passenstelsel). Sistem Opsir mengangkat tokoh-tokoh Tionghoa untuk menjadi kepala wilayah dengan pangkatKapitan, sebagai alat control perkembangan komunitas Tionghoa. Sistem sudah diberlakukan semenjak tahun 1619, namun sistem ini dalam beberapa hal memperkuat para opsir (Kapitan) sehingga muncul perlawanan 1740 (Mona Lohanda 2001), yang membuat pemerintah kolonial memperkuat kebijakan dengan menerbitkan kebijakan Sistem Zona dan Sistim Surat Ijin Jalan.
Sistem Zona dimulai tahun 1835, untuk mengisolir orang Tionghoa dalam satu komunitas, dan terpisah dari komunitas “pribumi”. Pelanggaran terhadap ini dihukum secara berat. Jadi orang-orang Tionghoa hanya diperbolehkan tinggal dan menetap di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Tahun 1863 dikeluarkan kebijakan Sistem Surat Ijin Jalan, di mana orang Tionghoa hanya boleh keluar dari zona itu dengan membawa surat jalan.
Menurut Leo Suryadinata dalam artikelnya The State and Chinese Minority in Indonesia (1993), melihat tiga alasan mengapa pemerintah kolonial menetapkan kebijakan tersebut. Pertama, memudahkan secara administrative untuk melakukan kontrol lewat para Kapitan (opsir); Kedua, menguntungkan secara ekonomi, karena di bawah sistem tidak langsung (indirect rule) Belanda memperoleh keuntungan besar penjualan ekspor hasil panen, karena mereka meyakini para pedagang Tionghoa tidak boleh melakukan pentrasi sampai ke wilayah pedesaan agar tidak terjadi gangguan sosial; Ketiga, secara politik diperlukan, karena jika dua ras berbeda tersebut disatukan bisa berbahaya jika melakukan perlawanan (seperti peristiwa 1740).
Kebijakan-kebijakan ini yang kemudian menjadi akar terbentuknya eksklusivitas orang Tionghoa di Indonesia, yang terus dipertahankan, bahkan dalam bentuk yang lain, diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 di era Soekarno.
Indonesia Merdeka dan Problem Rasisme
Penataan sosial rasis yang dibangun kolonialisme Belanda terus bertahan kukuh sampai Indonesia merdeka. Kebijakan Benteng masa Demokrasi Parlementer jelas melihat orang-orang Tionghoa sebagai bukan bagian dari orang Indonesia, sehingga kebijakan memperkuat pengusaha “pribumi” berarti pengusaha yang non-Tionghoa. Orang Tionghoa, sekalipun mendapat keleluasaan dalam bidang politik, seperti mendirikan organisasi, partai atau lembaga non-pemerintah lainnya, tetap dipandang sebagai “orang lain” dalam tubuh sosial Indonesia. PP 10 praktis secara rasis meminggirkan orang-orang etnis Tionghoa dari wilayah pedesaan, disusul kerusuhan besar anti-Tionghoa di Jawa Barat tahun 1963 yang memaksa banyak dari mereka memilih kembali ke tanah Tiongkok.
Orde Baru juga memperkokoh politik penataan sosial ala kolonialisme, dengan menempatkan orang-orang Tionghoa hanya di wilayah ekonomi, dan dijauhkan dari wilayah sosial-politik, sehingga jika terjadi gangguan sosial-politik, maka komunitas-komunitas Tionghoa bisa dijadikan kanalisasi kemarahan sosial, seperti berbagai kerusuhan anti-Tionghoa yang memuncak pada Mei 1998.
Problem rasisme era reformasi meluas juga ke etnis Dayak dengan Madura, di mana orang Dayak melihat orang Madura sebagai “orang lain” di wilayah mereka, karena itu wilayah dan tubuh sosial mereka (Dayak/Kalimantan) harus dibersihkan dari orang-orang Madura, sebagaimana orang-orang “Indonesia” melihat etnis Tionghoa.
Merujuk pada argumen Etienne Balibar, masyarakat Indonesia memang mengalami phantasm of prophylaxis, sehingga “yang bukan dirinya” harus dibersihkan dari “dirinya” karena akan “mengotori” sebagian dari “dirinya”. Fantasi ini hidup dalam bawah sadar, jadi upaya “mengabaikannya” semata-mata dengan argumen asimilasi, tidak akan menjawab persoalan. Keterbedaan memang ada, sehingga tidak perlu dibuat seakan-akan “tidak ada perbedaan”, sehingga RUU PDRE setidaknya mampu membuka ruang untuk melihat orang lain secara berbeda, bukan dalam obsesi menyeragamkan, karena kalau dimaknai “tidak lagi seragam”, maka cara penyelesaian sederhana adalah dengan “menyingkirkannya”.
Tugas besar RUU ini adalah menjadi UU yang mampu menghukum keras segala bentuk rasisme, sekaligus juga mengikis phantasm of prophylaxis dari ruang bawah sadar manusia Indonesia.
Pertanyaan langsung berkelebat dalam kepala, kenapa kebencian rasial mendapat tempat, dan diterima sebagai suatu hal yang permisif di Indonesia? Sepertinya rasisme anti-Tionghoa semacam ini dianggap sebagai suatu kewajaran, tentu dengan berbagai argumen, namun pokoknya adalah satu: rasisme anti-Tionghoa mendapat tempat yang layak di dalam kepala masyarakat Indonesia secara umum!
Gejala umum ini memang banyak terjadi di belahan dunia lainnya. Pemain klub sepakbola Barcelona asal Kamerun, Samuel Eto’o, hanyalah salah satu korban tindakan rasisme dunia olahraga, sehingga jauh-jauh hari Persatuan Sepakbola Eropa (UEFA) perlu mencanangkan program kampanye “Let’s Kick Racism Out of Football!”. Uni Eropa bahkan menerapkan sistem rangking buat mengukur tingkat rasisme di negara-negara Eropa.
Kondisi ini yang sekarang menjadi dasar bagi dipersiapkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis (RUU PDRE). Untuk itu pertanyaan awal tadi perlu ditelusuri sedikit lebih jauh, dengan melihat penataan sosial berdasarkan asal-usul kebangsaan di masa kolonial, sampai sekarang ini.
Tata-Sosial Rasis Bentukan Kolonialisme Belanda
Kebijakan rasis di Indonesia bisa ditelusuri dari masa kolonialisme Belanda jama VOC. Perlawanan kaum Tionghoa di Batavia yang mengakibatkan pembantaian lebih dari 10.000 orang Tionghoa oleh VOC pada Oktober 1740, di mana perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari (Ricklefs 2001). Peristiwa ini yang menjadi landasan dari proyek pemisahan tata-sosial berdasarkan asal-usul (sebut saja Ras) secara ketat. Peristiwa 1740 berlanjut sampai terjadinya perlawanan orang Tionghoa di seluruh Jawa, bahkan mendapat dukungan dari Kerjaaan Mataram di bawah Pakubuwana II. Perlawanan ini berhasil dipatahkan karena Cakraningrat IV membantu pemerintah kolonial (Ricklefs 2001).
Untuk melakukan kontrol terhadap komunitas Tionghoa, VOC menerapkan kebijakan berupa pemisahan etnis Tionghoa dengan “pribumi” yaitu Sistem Opsir (Kapitan), Sistem Zona (Wijkenstelsel) dan Sistim Surat Ijin Jalan (Passenstelsel). Sistem Opsir mengangkat tokoh-tokoh Tionghoa untuk menjadi kepala wilayah dengan pangkatKapitan, sebagai alat control perkembangan komunitas Tionghoa. Sistem sudah diberlakukan semenjak tahun 1619, namun sistem ini dalam beberapa hal memperkuat para opsir (Kapitan) sehingga muncul perlawanan 1740 (Mona Lohanda 2001), yang membuat pemerintah kolonial memperkuat kebijakan dengan menerbitkan kebijakan Sistem Zona dan Sistim Surat Ijin Jalan.
Sistem Zona dimulai tahun 1835, untuk mengisolir orang Tionghoa dalam satu komunitas, dan terpisah dari komunitas “pribumi”. Pelanggaran terhadap ini dihukum secara berat. Jadi orang-orang Tionghoa hanya diperbolehkan tinggal dan menetap di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Tahun 1863 dikeluarkan kebijakan Sistem Surat Ijin Jalan, di mana orang Tionghoa hanya boleh keluar dari zona itu dengan membawa surat jalan.
Menurut Leo Suryadinata dalam artikelnya The State and Chinese Minority in Indonesia (1993), melihat tiga alasan mengapa pemerintah kolonial menetapkan kebijakan tersebut. Pertama, memudahkan secara administrative untuk melakukan kontrol lewat para Kapitan (opsir); Kedua, menguntungkan secara ekonomi, karena di bawah sistem tidak langsung (indirect rule) Belanda memperoleh keuntungan besar penjualan ekspor hasil panen, karena mereka meyakini para pedagang Tionghoa tidak boleh melakukan pentrasi sampai ke wilayah pedesaan agar tidak terjadi gangguan sosial; Ketiga, secara politik diperlukan, karena jika dua ras berbeda tersebut disatukan bisa berbahaya jika melakukan perlawanan (seperti peristiwa 1740).
Kebijakan-kebijakan ini yang kemudian menjadi akar terbentuknya eksklusivitas orang Tionghoa di Indonesia, yang terus dipertahankan, bahkan dalam bentuk yang lain, diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 di era Soekarno.
Indonesia Merdeka dan Problem Rasisme
Penataan sosial rasis yang dibangun kolonialisme Belanda terus bertahan kukuh sampai Indonesia merdeka. Kebijakan Benteng masa Demokrasi Parlementer jelas melihat orang-orang Tionghoa sebagai bukan bagian dari orang Indonesia, sehingga kebijakan memperkuat pengusaha “pribumi” berarti pengusaha yang non-Tionghoa. Orang Tionghoa, sekalipun mendapat keleluasaan dalam bidang politik, seperti mendirikan organisasi, partai atau lembaga non-pemerintah lainnya, tetap dipandang sebagai “orang lain” dalam tubuh sosial Indonesia. PP 10 praktis secara rasis meminggirkan orang-orang etnis Tionghoa dari wilayah pedesaan, disusul kerusuhan besar anti-Tionghoa di Jawa Barat tahun 1963 yang memaksa banyak dari mereka memilih kembali ke tanah Tiongkok.
Orde Baru juga memperkokoh politik penataan sosial ala kolonialisme, dengan menempatkan orang-orang Tionghoa hanya di wilayah ekonomi, dan dijauhkan dari wilayah sosial-politik, sehingga jika terjadi gangguan sosial-politik, maka komunitas-komunitas Tionghoa bisa dijadikan kanalisasi kemarahan sosial, seperti berbagai kerusuhan anti-Tionghoa yang memuncak pada Mei 1998.
Problem rasisme era reformasi meluas juga ke etnis Dayak dengan Madura, di mana orang Dayak melihat orang Madura sebagai “orang lain” di wilayah mereka, karena itu wilayah dan tubuh sosial mereka (Dayak/Kalimantan) harus dibersihkan dari orang-orang Madura, sebagaimana orang-orang “Indonesia” melihat etnis Tionghoa.
Merujuk pada argumen Etienne Balibar, masyarakat Indonesia memang mengalami phantasm of prophylaxis, sehingga “yang bukan dirinya” harus dibersihkan dari “dirinya” karena akan “mengotori” sebagian dari “dirinya”. Fantasi ini hidup dalam bawah sadar, jadi upaya “mengabaikannya” semata-mata dengan argumen asimilasi, tidak akan menjawab persoalan. Keterbedaan memang ada, sehingga tidak perlu dibuat seakan-akan “tidak ada perbedaan”, sehingga RUU PDRE setidaknya mampu membuka ruang untuk melihat orang lain secara berbeda, bukan dalam obsesi menyeragamkan, karena kalau dimaknai “tidak lagi seragam”, maka cara penyelesaian sederhana adalah dengan “menyingkirkannya”.
Tugas besar RUU ini adalah menjadi UU yang mampu menghukum keras segala bentuk rasisme, sekaligus juga mengikis phantasm of prophylaxis dari ruang bawah sadar manusia Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar