Setelah mengecam habis-habisan tindakan Muammar Khadafi yang menyewa sejumblah tentara bayaran untuk memhancurkan pemberontak Libya. Kini kubu koalisi semakin terlihat kemunafikannya setelah rencana memasok senjata kepada kalangan anti-Muammar Kadhafi ditolak PBB. Kubu koalisi mengerahkan tentara bayaran ke Libya untuk membantu pasukan pemberontak Libya.
Seperti dilansir Daily Mail kemarin (7/4), para serdadu bayaran tersebut nanti bertugas melatih pasukan pemberontak yang memang kebanyakan berasal dari kalangan nonmiliter. Juga, yang tidak kalah penting, menyupervisi langsung gerak mereka di lapangan.
Misalnya, mereka akan bertindak sebagai penghubung kubu pemberontak dengan NATO selaku wakil pasukan koalisi. Dengan begitu, hasil serangan udara bakal semakin efektif. "Sudah jelas kami tidak bisa menang dengan hanya mengandalkan serangan udara," ujar sebuah sumber di kalangan militer Inggris kepada Daily Mail. "Kami akan menyerang target dari udara dan mereka yang melanjutkan pekerjaan di darat," papar dia.
Ide tersebut memang berasal dari militer Inggris. Karena itu, tentara bayaran yang disiapkan adalah para mantan personel pasukan khusus Angkatan Udara dan Angkatan Laut Inggris yang kini bekerja di perusahaan penyedia jasa keamanan swasta.
Nah, kalau Inggris dan rekan-rekannya di koalisi menyiapkan sisi teknis, urusan pembiayaan para serdadu bayaran itu akan diserahkan ke negara-negara Arab kaya, seperti Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Saat ini Qatar yang sudah dilobi. Sebab, negeri monarki itu memang terlibat aktif di koalisi dengan menyediakan pesawat tempur.
Kalau benar terlaksana, tindakan koalisi tersebut jelas semakin jauh dari misi sebenarnya, yaitu melindungi warga sipil dari hajaran pasukan Kadhafi. Dalih yang mereka gunakan-seperti juga dalam rencana menyuplai persenjataan ke kubu pemberontak- adalah frasa "menggunakan segala cara (untuk melindungi warga sipil)" yang memang ada di Resolusi PBB Nomor 1973 tentang Libya.
Penggunaan tentara bayaran itu sekaligus tampak seperti menjilat ludah sendiri. Sebab, ketika memutuskan terjun untuk menyerang Libya dari udara, koalisi menyorongkan fakta bahwa Kadhafi menyewa tentara-tentara bayaran dari Chad, Nigeria, dan sejumlah negara Afrika lain guna menyikat gerakan prodemokrasi.
Yang paling gembira kalau rencana itu dilaksanakan tentu saja kubu anti-Kadhafi. Sebab, sebelumnya, Kepala Staf Militer Pemberontak Abdel-Fattah Younis mengkritik keras terlalu birokratisnya prosedur di NATO sebagai penanggung jawab serangan udara ke Libya.
Menurut Younis, dibutuhkan waktu delapan jam sebelum permintaan serangan udara dipenuhi. "Kalau selama itu, orang-orang mungkin sudah mati dan itu terjadi persis di hadapan komunitas internasional. Apa yang dikerjakan oleh NATO" ucap Younis seperti dikutip Associated Press.
Tudingan itu dibantah Carmen Ramero, juru bicara NATO. Menurut dia, jumlah serangan udara justru kian meningkat setiap hari. Namun, Misrata, kota yang dikuasai pemberontak tapi digempur habis oleh pasukan Kadhafi, tetap menjadi prioritas.
Kebanyakan "tentara" pemberontak memang berasal dari kalangan sipil, yang tentu saja tidak punya pengalaman tempur. Antara lain, pedagang, pekerja kantoran, atau mahasiswa. Meski semangat tempur mereka tidak diragukan, tanpa pengalaman militer, mereka gampang sekali dihalau loyalis Kadhafi dari kota-kota yang pernah mereka kuasai, selain Benghazi.
Selain itu, persenjataan minim dan tidak ada komando yang jelas di lapangan. Bahkan, tentara pemberontak yang satu dengan lainnya kerap tidak saling kenal. "Terlalu banyak (tentara) yang tidak berkomandan. Itu masalah besar," kata Ibrahim Mohammed, salah seorang tentara pemberontak, kepada New York Times.
Di pihak lain, selain tentara profesional, Kadhafi masih punya 40 ribu milisi sipil bersenjata yang setiap saat siap dipanggil untuk perang. Juga, tentu saja keunggulan amunisi. Sementara itu, buruknya koordinasi antara pemberontak dan NATO sebagai wakil koalisi kembali terjadi kemarin. Sebagaimana dilansir BBC, 13 pejuang oposisi tewas di Ajdabiya karena serangan udara NATO yang salah sasaran.
Seorang pejuang oposisi mengatakan bahwa dirinya menyaksikan setidaknya empat rudal NATO ditembakkan ke arah para pejuang anti-Kadhafi. "Yang tewas banyak dan yang terluka lebih banyak lagi," katanya kepada BBC. Insiden tersebut adalah friendly fire ketiga, yaitu salah tembak pasukan NATO ke arah pasukan pemberontak. Di dua kejadian sebelumnya, juga timbul korban nyawa di kalangan pejuang anti-Kadhafi
0 komentar:
Posting Komentar